Selasa, 23 Februari 2016

THE SIGIT

 Hasil gambar untuk the sigit

 The S.I.G.I.T adalah satu dari sekian band indie indonesia yang punya kualitas bagus dalam musiknya. The SIGIT merupakan band indie asal bandung, yang dibentuk pada tahun 1997 ketika para personelnya masih duduk di bangku SMA. Nama The S.I.G.I.T itu sendiri baru dipakai pada tahun 2002. pada tahun 2004 mereka membuat demo album yang berjudul ” EP” berisi 6 lagu. The S.I.G.I.T merupakan potret band indie yang melek teknologi dengan memanfaatkan situs jejaring sosial seperti myspace, friendster, facebook, bebo, dll, untuk mengenalkan lagu-lagu mereka ke seluruh dunia . akhirnya,l ewat internet pula mereka ditemukan oleh salah satu pemilik label di Australia yang kemudian menawari band ini untuk membuat album The S.I.G.I.T versi Australia. The S.I.G.I.T baru dikenal oleh masyarakat pecinta musik secara luas setelah membuat lagu untuk soundtrack sebuah film (Catatan Akhir Sekolah) dengan lagu “Did I ask yer opinion”. Dibalik nama The S.I.G.I.T. The S.I.G.I.T bukanlah nama dari seorang personilnya (yang memang lazimnya nama Sigit adalah nama orang) atau singkatan dari nama para personilnya, namun The S.I.G.I.T merupakan singkatan dari “The Super Insurgent Group of Intemperance Talent”. Mari menyimak kisah Rektivianto Rekti Yoewono tentang hal yang mendorong dirinya untuk menamakan band-nya The S.I.G.I.T.: "Awalnya itu, saya kalau lagi nggak ada kerjaan, kalau lagi di Internet suka ke Google, iseng nyari nama sendiri. "Rekti" kalau di luar apa ya?,tutur vokalis-gitaris berusia 25 tahun itu. Terus ngetik nama bapak saya, Sigit. Terus ternyata, Sigit.com itu Science Interest Group anjing, keren juga ya. Jadi gue cari kata-kata sendiri". Cerita itu dapat mewakili sisi intelek sekaligus humoris yang terdapat pada The Super Insurgent Group of Intemperance Talent, kuartet asal Bandung yang menggabungkan tema lirik yang kontemplatif dengan musik rock & roll primitif, di mana Led Zeppelin, The Clash dan The Beatles menjadi pengaruh utama yang menyatukan selera keempat sahabat ini. Kami ter-influence lagu-lagu lama, tapi intinya kami memang suka ngerock, kata bassis Aditya Bagja Mulyana alias Adit, 25 tahun. Bukan ngepop, karena kami bukan penyanyi yang baik [tertawa]! Awal Terbentuknya The Super Insurgent Group of Intemperance Talent Band yang mengusung garage rock dengan tampilan seadanya yang dibentuk ketika zaman sekolah setingkat SMP antar teman saling bertemu diantaranya yaitu Rekti, Adit dan Acil yang kemudian membentuk sebuah band yang mengusung ciri khas dengan sound dari mulai The Stone Roses sampai dengan Led Zeppelin, dimana personil band yang selama itu ada saling silih berganti, ada yang datang ada yang pergi, dengan, kemudian pada tahun 2002, Farri datang ke dalam band tersebut, dengan kemampuannya dalam “recording dan arranging” dimulailah mereka untuk menciptakan lagunya mereka. Grup yang diawaki empat orang personel Rektivianto Yoewono (vokalis dan gitar), Farri Icksan Wibisana (gitaris), Aditya Bagja Mulyana (bass), dan Donar Armando Ekana (vokalis dan drummer). Mereka berasal dari perguruan tinggi di Bandung. Rekti saat ini sedang menyelesaikan S2 di Teknik Lingkungan ITB, Adiet sarjana IT dari Universitas Maranatha Bandung. Kalau Achiel Sarjana S1 Arsitektur Universitas Parahyangan sementara Farri sedang studi S2 di jurusan Arsitek ITB. Wah pintar-pintar yah, calon master yang jago di bidang musik. Kenapa band mereka lebih banyak menggunakan lirik bahasa Inggris, apa karena memang mereka fanatik bahasa Inggris? Achiel A.K.A Donar Armando Ekana menjelaskan kenapa bahasa Inggris yang mereka pakai dalam kata-kata di liriknya karena mereka ingin beda, dan sederhananya mereka lebih senang main dengan kata-kata bahasa Inggris. “Kalau dengan bahasa Inggris lebih mudah mendapat gabungan kata, dan maknanya lebih dalam,” ujarnya. Hampir semua lagu mereka kemas dalam bahasa Inggris, tapi bukan berarti tidak ada bahasa Indonesianya. Di album pertama yang juga berjudul The S.I.G.I.T dirilis tahun 2004 banyak juga yang memakai bahasa Indonesia. Di album keduanya yang berjudul VISIBLE IDEA OF PERFICTION yang dirilis tahun 2006 judul lagu-lagu andalannya seperti Soul Sister juga dikemas dalam bahasa Inggris. Nowhere End dan All the Time yang bercerita tentang cinta, walau dengan sudut pandang yang tak biasa. Yah, begitulah The S.I.G.I.T memang senang mengekspresikan kata-kata lewat bahasa Inggris, itu juga karena mereka memang lebih sering manggung di luar negeri. Seperti di Australia dan Singapura. Bukan berarti kalau udah main di dua negara itu terus puas. Mereka masih memendam keinginan tampil di Texas, Amerika Serikat, dalam ajang South by South West. “Maret kemarin, mestinya kami main di sana, tapi terlambat mengurus visa,” ujar Farri, sang gitaris. Hal-hal yang menjadi topik lirik dapat dibilang menarik. Ada sebuah tema besar yang dapat ditangkap, yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi sekitar. Live in New York bercerita tentang keinginan untuk hijrah ke tempat yang lebih menarik; New Generation menghujat lingkaran setan yang menghubungkan malnutrisi dengan kebodohan; dan empat lagu Let It Go,Save Me,Clove Doper dan Satan State“ adalah komentar terhadap sifat orang-orang di sekeliling saya, menurut Rekti, yang menyebut politikus, dosen, tokoh agama dan orang Indonesia pada umumnya. Kalau ada orang yang mengatakan ˜Saya orang suci, Anda tidak suci, saya membantah semua orang yang mengatakan bahwa ˜Saya superior dalam bidang tertentu. Bagi saya, itu adalah sesuatu yang tidak menarik dan tidak penting. Tak semua lagu mengandung tema seberat itu. Soul Sister bercerita tentang teman SMP Rekti dan Adit yang memanfaatkan jasa seorang waria; Nowhere End dan All the Time malah bercerita tentang cinta, walau dengan sudut pandang yang tak biasa. Saya pernah mendapat e-mail yang membahas itu, dan itu bikin semangat untuk belajar lebih banyak lagi tentang bagaimana menulis lirik, daripada mendengar pujian yang lagu lo ngerock banget! kata Rekti. Senang sih, cuma itu saya anggap ya udahlah. Bisa berbahaya untuk diri sendiri. Saya berharap kalau ada yang mendengarkan dan memperhatikan lirik, apa yang saya maksud bisa sampai, dan kalau menyampaikan kritik sesuai dengan apa konteksnya.
   The Insurgent Army berawal dari penggemar yang dulu bersekolah di Taruna Bakti. Mereka selalu hadir dalam setiap pertunjukkan dan selalu bertambah jumlahnya setiap kalinya. “Peran penggemar yang paling terasa adalah upaya mereka dalam membantu kami menyebarkan berita atau word of mouth. Semakin luas cakupan word of mouth, semakin kuat fanbase. Maka dari itu bisa saya katakan kalau The S.I.G.I.T bisa seperti sekarang karena bantuan dan antusiasme dari fanbase. Tanpa ada mereka kami tidak akan seperti sekarang mengingat minimnya coverage dari media besar seperti televisi,” ujar Rekti mengenai basis penggemar The S.I.G.I.T yang ia sangat hargai itu.
Berbicara di Dunia Internasional
Dengan ramuan musik yang rancak serta basis penggemar yang besar, pada perjalanan karir selanjutnya, The S.I.G.I.T menjadi incaran dari berbagai label musik. Pilihan mereka lalu jatuh kepada FFCUTS, sebuah divisi khusus musik rock dari label FFWD yang dikenal sukses menaungi band Mocca. Di bulan Desember 2006, The S.I.G.I.T akhirnya merilis debut album penuh mereka yang bertajuk Visible Idea of Perfection. Tidak berapa lama, sebuah label asal Australia, Caveman juga tertarik untuk merilis album The S.I.G.I.T di negeri kangguru. Maka pada bulan Juni 2007, album Visible Idea of Perfection resmi beredar di seluruh Australia. Dan untuk mendukung promo album, pada tahun yang sama, The Sigit menggelar tur selama sebulan penuh dimana mereka bermain di sembilan kota dan tampil di 16 panggung berbeda.
Setelah itu, nama The S.I.G.I.T kian bergaung di dunia internasional. Di tahun 2008 mereka diundang tampil dalam salah satu festival musik terbesar di Amerika Serikat, South by Southwest (SXSW) di Texas. Namun karena bermasalah dengan visa, maka kepergian mereka akhirnya ditunda hingga tahun 2009 dimana mereka tidak hanya tampil dalam festival SXSW, namun juga tampil di panggung-panggung pada kota Los Angeles dan San Fransisco.

Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan, equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.

Antara Materi dan Kesuksesan
Sementara itu apa yang terjadi di kehidupan para personil The S.I.G.I.T itu sendiri hingga saat ini mereka belum tentu bisa 100 persen fokus terhadap kegiatan bermusik yang mereka cintai. Yang menjadi dasar, tentunya faktor penghasilan yang belum bisa menghidupi secara keseluruhan. Karena itu di sela-sela kegiatan bermusik, beberapa personil The S.I.G.I.T masih ‘harus’ menjalani kegiatan pekerjaan lainnya.
Rekti mengakui bahwa keinginan untuk menjadi full time musician itu sebenarnya telah ada di benak mereka. “Alangkah indahnya kalau kami bisa menjadikan band sebagai full time. Kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Penghasilan yang didapat dari band saat ini masih menjadi pendukung untuk mengemban inventaris peralatan. Uang yang kami dapat dari band biasanya digunakan untuk beli peralatan musik dalam rangka mendukung pembuatan lagu yang kami idam-idamkan. Saya jadi teringat wejangan dari seseorang yang pernah bilang ‘usaha dulu yang tekun, uang pasti menyusul.’ Kalau mikir uang terus jadinya stres. Selama masih bisa ngeband tanpa harus menjual barang, saya pribadi sih enggak apa-apa. Lagi pula saya pribadi enggak punya hasrat terhadap harta yang berlebih. Kalau kaya pun pasti uangnya buat beli alat musik atau piringan hitam. Jadi menurut saya, saat ini tahap band kami adalah full time musician for musical purpose dan another job for another purpose.”
Dengan berbagai penghargaan dan popularitas yang mereka dapat sejauh ini, The S.I.G.I.T mengaku masih berusaha keras untuk dapat menghasilkan karya sebagus mungkin. Karena mereka merasa masih belum puas dengan apa yang telah dihasilkan selama ini. “Yang pasti kita nggak pengen cepet puas karena kalau udah puas akan kehilangan tujuan.”
Bagi The S.I.G.I.T definisi sukses bagi sebuah band bukan hanya dinilai dari materi. Sukses bisa berasal dari berbagai unsur lain selain materi. Dari awal terbentuk, mereka menjalani karir musik ini tanpa ambisi yang besar. Bagi mereka, lebih baik fokus berkarya dan terus bertahan daripada hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang yang banyak dari bermain band. Menurut Rekti, “Kalau ngeband dengan persepsi suksesnya materi, lebih baik cari kerjaan lain aja.”
SUMBER 

http://kojakinsurgent.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-band-sigit_8.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar