The
S.I.G.I.T adalah satu dari sekian band indie indonesia yang punya kualitas
bagus dalam musiknya. The SIGIT merupakan band indie asal bandung, yang
dibentuk pada tahun 1997 ketika para personelnya masih duduk di bangku SMA.
Nama The S.I.G.I.T itu sendiri baru dipakai pada tahun 2002. pada tahun 2004
mereka membuat demo album yang berjudul ” EP” berisi 6 lagu. The S.I.G.I.T
merupakan potret band indie yang melek teknologi dengan memanfaatkan situs
jejaring sosial seperti myspace, friendster, facebook, bebo, dll, untuk
mengenalkan lagu-lagu mereka ke seluruh dunia . akhirnya,l ewat internet pula
mereka ditemukan oleh salah satu pemilik label di Australia yang kemudian
menawari band ini untuk membuat album The S.I.G.I.T versi Australia. The
S.I.G.I.T baru dikenal oleh masyarakat pecinta musik secara luas setelah
membuat lagu untuk soundtrack sebuah film (Catatan Akhir Sekolah) dengan lagu
“Did I ask yer opinion”. Dibalik nama The S.I.G.I.T. The S.I.G.I.T bukanlah
nama dari seorang personilnya (yang memang lazimnya nama Sigit adalah nama
orang) atau singkatan dari nama para personilnya, namun The S.I.G.I.T merupakan
singkatan dari “The Super Insurgent Group of Intemperance Talent”. Mari
menyimak kisah Rektivianto Rekti Yoewono tentang hal yang mendorong dirinya
untuk menamakan band-nya The S.I.G.I.T.: "Awalnya itu, saya kalau lagi
nggak ada kerjaan, kalau lagi di Internet suka ke Google, iseng nyari nama
sendiri. "Rekti" kalau di luar apa ya?,tutur vokalis-gitaris berusia
25 tahun itu. Terus ngetik nama bapak saya, Sigit. Terus ternyata, Sigit.com
itu Science Interest Group anjing, keren juga ya. Jadi gue cari kata-kata
sendiri". Cerita itu dapat mewakili sisi intelek sekaligus humoris yang
terdapat pada The Super Insurgent Group of Intemperance Talent, kuartet asal
Bandung yang menggabungkan tema lirik yang kontemplatif dengan musik rock &
roll primitif, di mana Led Zeppelin, The Clash dan The Beatles menjadi pengaruh
utama yang menyatukan selera keempat sahabat ini. Kami ter-influence lagu-lagu
lama, tapi intinya kami memang suka ngerock, kata bassis Aditya Bagja Mulyana
alias Adit, 25 tahun. Bukan ngepop, karena kami bukan penyanyi yang baik
[tertawa]! Awal Terbentuknya The Super Insurgent Group of Intemperance Talent
Band yang mengusung garage rock dengan tampilan seadanya yang dibentuk ketika
zaman sekolah setingkat SMP antar teman saling bertemu diantaranya yaitu Rekti,
Adit dan Acil yang kemudian membentuk sebuah band yang mengusung ciri khas
dengan sound dari mulai The Stone Roses sampai dengan Led Zeppelin, dimana
personil band yang selama itu ada saling silih berganti, ada yang datang ada
yang pergi, dengan, kemudian pada tahun 2002, Farri datang ke dalam band
tersebut, dengan kemampuannya dalam “recording dan arranging” dimulailah mereka
untuk menciptakan lagunya mereka. Grup yang diawaki empat orang personel
Rektivianto Yoewono (vokalis dan gitar), Farri Icksan Wibisana (gitaris),
Aditya Bagja Mulyana (bass), dan Donar Armando Ekana (vokalis dan drummer).
Mereka berasal dari perguruan tinggi di Bandung. Rekti saat ini sedang
menyelesaikan S2 di Teknik Lingkungan ITB, Adiet sarjana IT dari Universitas
Maranatha Bandung. Kalau Achiel Sarjana S1 Arsitektur Universitas Parahyangan
sementara Farri sedang studi S2 di jurusan Arsitek ITB. Wah pintar-pintar yah, calon
master yang jago di bidang musik. Kenapa band mereka lebih banyak menggunakan
lirik bahasa Inggris, apa karena memang mereka fanatik bahasa Inggris? Achiel
A.K.A Donar Armando Ekana menjelaskan kenapa bahasa Inggris yang mereka pakai
dalam kata-kata di liriknya karena mereka ingin beda, dan sederhananya mereka
lebih senang main dengan kata-kata bahasa Inggris. “Kalau dengan bahasa Inggris
lebih mudah mendapat gabungan kata, dan maknanya lebih dalam,” ujarnya. Hampir
semua lagu mereka kemas dalam bahasa Inggris, tapi bukan berarti tidak ada
bahasa Indonesianya. Di album pertama yang juga berjudul The S.I.G.I.T dirilis
tahun 2004 banyak juga yang memakai bahasa Indonesia. Di album keduanya yang
berjudul VISIBLE IDEA OF PERFICTION yang dirilis tahun 2006 judul lagu-lagu
andalannya seperti Soul Sister juga dikemas dalam bahasa Inggris. Nowhere End
dan All the Time yang bercerita tentang cinta, walau dengan sudut pandang yang
tak biasa. Yah, begitulah The S.I.G.I.T memang senang mengekspresikan kata-kata
lewat bahasa Inggris, itu juga karena mereka memang lebih sering manggung di
luar negeri. Seperti di Australia dan Singapura. Bukan berarti kalau udah main
di dua negara itu terus puas. Mereka masih memendam keinginan tampil di Texas,
Amerika Serikat, dalam ajang South by South West. “Maret kemarin, mestinya kami
main di sana, tapi terlambat mengurus visa,” ujar Farri, sang gitaris. Hal-hal
yang menjadi topik lirik dapat dibilang menarik. Ada sebuah tema besar yang
dapat ditangkap, yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi sekitar. Live in New York
bercerita tentang keinginan untuk hijrah ke tempat yang lebih menarik; New
Generation menghujat lingkaran setan yang menghubungkan malnutrisi dengan
kebodohan; dan empat lagu Let It Go,Save Me,Clove Doper dan Satan State“ adalah
komentar terhadap sifat orang-orang di sekeliling saya, menurut Rekti, yang
menyebut politikus, dosen, tokoh agama dan orang Indonesia pada umumnya. Kalau
ada orang yang mengatakan ˜Saya orang suci, Anda tidak suci, saya membantah
semua orang yang mengatakan bahwa ˜Saya superior dalam bidang tertentu. Bagi
saya, itu adalah sesuatu yang tidak menarik dan tidak penting. Tak semua lagu
mengandung tema seberat itu. Soul Sister bercerita tentang teman SMP Rekti dan
Adit yang memanfaatkan jasa seorang waria; Nowhere End dan All the Time malah
bercerita tentang cinta, walau dengan sudut pandang yang tak biasa. Saya pernah
mendapat e-mail yang membahas itu, dan itu bikin semangat untuk belajar lebih
banyak lagi tentang bagaimana menulis lirik, daripada mendengar pujian yang
lagu lo ngerock banget! kata Rekti. Senang sih, cuma itu saya anggap ya
udahlah. Bisa berbahaya untuk diri sendiri. Saya berharap kalau ada yang
mendengarkan dan memperhatikan lirik, apa yang saya maksud bisa sampai, dan
kalau menyampaikan kritik sesuai dengan apa konteksnya.
The Insurgent Army berawal dari
penggemar yang dulu bersekolah di Taruna Bakti. Mereka selalu hadir
dalam setiap pertunjukkan dan selalu bertambah jumlahnya setiap kalinya.
“Peran penggemar yang paling terasa adalah upaya mereka dalam membantu
kami menyebarkan berita atau word of mouth. Semakin luas cakupan word of mouth, semakin kuat fanbase. Maka dari itu bisa saya katakan kalau The S.I.G.I.T bisa seperti sekarang karena bantuan dan antusiasme dari fanbase. Tanpa ada mereka kami tidak akan seperti sekarang mengingat minimnya coverage dari media besar seperti televisi,” ujar Rekti mengenai basis penggemar The S.I.G.I.T yang ia sangat hargai itu.
Berbicara di Dunia Internasional
Dengan
ramuan musik yang rancak serta basis penggemar yang besar, pada
perjalanan karir selanjutnya, The S.I.G.I.T menjadi incaran dari
berbagai label musik. Pilihan mereka lalu jatuh kepada FFCUTS, sebuah
divisi khusus musik rock dari label FFWD yang dikenal sukses menaungi
band Mocca. Di bulan Desember 2006, The S.I.G.I.T akhirnya merilis
debut album penuh mereka yang bertajuk Visible Idea of Perfection.
Tidak berapa lama, sebuah label asal Australia, Caveman juga tertarik
untuk merilis album The S.I.G.I.T di negeri kangguru. Maka pada bulan
Juni 2007, album Visible Idea of Perfection resmi beredar di
seluruh Australia. Dan untuk mendukung promo album, pada tahun yang
sama, The Sigit menggelar tur selama sebulan penuh dimana mereka
bermain di sembilan kota dan tampil di 16 panggung berbeda.
Setelah
itu, nama The S.I.G.I.T kian bergaung di dunia internasional. Di tahun
2008 mereka diundang tampil dalam salah satu festival musik terbesar
di Amerika Serikat, South by Southwest (SXSW) di Texas. Namun karena
bermasalah dengan visa, maka kepergian mereka akhirnya ditunda hingga
tahun 2009 dimana mereka tidak hanya tampil dalam festival SXSW, namun
juga tampil di panggung-panggung pada kota Los Angeles dan San
Fransisco.
Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan, equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.
Antara Materi dan Kesuksesan
Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan, equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.
Antara Materi dan Kesuksesan
Sementara
itu apa yang terjadi di kehidupan para personil The S.I.G.I.T itu
sendiri hingga saat ini mereka belum tentu bisa 100 persen fokus
terhadap kegiatan bermusik yang mereka cintai. Yang menjadi dasar,
tentunya faktor penghasilan yang belum bisa menghidupi secara
keseluruhan. Karena itu di sela-sela kegiatan bermusik, beberapa
personil The S.I.G.I.T masih ‘harus’ menjalani kegiatan pekerjaan
lainnya.
Rekti mengakui bahwa keinginan untuk menjadi full time musician itu sebenarnya telah ada di benak mereka. “Alangkah indahnya kalau kami bisa menjadikan band sebagai full time.
Kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Penghasilan yang didapat
dari band saat ini masih menjadi pendukung untuk mengemban inventaris
peralatan. Uang yang kami dapat dari band biasanya digunakan untuk beli
peralatan musik dalam rangka mendukung pembuatan lagu yang kami
idam-idamkan. Saya jadi teringat wejangan dari seseorang yang pernah
bilang ‘usaha dulu yang tekun, uang pasti menyusul.’ Kalau mikir uang
terus jadinya stres. Selama masih bisa ngeband tanpa harus menjual
barang, saya pribadi sih enggak apa-apa. Lagi pula saya
pribadi enggak punya hasrat terhadap harta yang berlebih. Kalau kaya
pun pasti uangnya buat beli alat musik atau piringan hitam. Jadi
menurut saya, saat ini tahap band kami adalah full time musician for musical purpose dan another job for another purpose.”
Dengan
berbagai penghargaan dan popularitas yang mereka dapat sejauh ini, The
S.I.G.I.T mengaku masih berusaha keras untuk dapat menghasilkan karya
sebagus mungkin. Karena mereka merasa masih belum puas dengan apa yang
telah dihasilkan selama ini. “Yang pasti kita nggak pengen cepet puas
karena kalau udah puas akan kehilangan tujuan.”
Bagi
The S.I.G.I.T definisi sukses bagi sebuah band bukan hanya dinilai
dari materi. Sukses bisa berasal dari berbagai unsur lain selain
materi. Dari awal terbentuk, mereka menjalani karir musik ini tanpa
ambisi yang besar. Bagi mereka, lebih baik fokus berkarya dan terus
bertahan daripada hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang yang
banyak dari bermain band. Menurut Rekti, “Kalau ngeband dengan
persepsi suksesnya materi, lebih baik cari kerjaan lain aja.”
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar